LOA BAKUNG. Masih ingat istilah Jembatan Abu Nawas? Ya, sebutan itu disematkan untuk Jembatan Martadipura di Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara (Kukar). Istilah itu disematkan karena proyek jembatan yang tuntas dan berdiri megah, namun tidak bisa dilintasi karena belum memiliki akses jalan. Kondisi ini bahkan terjadi selama bertahun-tahun. Akibatnya, warga sekitar hanya bisa melihat kemegahan jembatan dari kejauhan, namun tak bisa memanfaatkan untuk memangkas waktu perjalanan.
Nah, kondisi nyaris serupa juga terjadi di Samarinda. Tapi kali ini bukan menimpa pada bangunan jembatan. Tetapi bangunan megah sekolah tingkat pertama atau SMP, yang akses jalannya hancur lebur.
Permasalahan ini sebenarnya sudah diatasi Pemkot Samarinda. Namun sampai kemarin, kondisinya belum mengalami perubahan. Ratusan siswa-siswi dan tenaga pengajar kesulitan menjangkau sekolah yang megah karena akses jalan itu. Saat hujan mengguyur, jalan yang ada nyaris tak bisa dilewati.
Namun, banyak jalan menuju Roma. Ungkapan ini tepat ditujukan bagi para pelajar SMP 38 yang berada di Loa Bakung, Sungai Kunjang. Untuk menuju sekolah, mereka harus berjuang menghadapi jalan becek kala hujan deras. Tak jarang ada saja yang gugur alias jatuh, lantaran tak sanggup melewati lika-liku perjalanan.
Namun upaya mereka tak sia-sia. Sebab gedung SMP 38 bisa jadi salah satu gedung mewah untuk ukuran sekolah menengah. Gedung seperti ini jarang ditemui di kawasan kota. Hanya saja kondisi seperti ini harus mereka lalui setiap hari, bersama guru dan tenaga pendidik disana.
Salah seorang pelajar kelas 9 Suci Aliyah mereka telah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Menurutnya, menuntut ilmu adalah tujuan utama memasuki SMP 38.
“Biasanya kalau tidak hujan, jalan tidak akan becek seperti ini,” ujar Suci, Kamis (14/11).
Bahkan ia sudah terbiasa melihat pemandangan saat beberapa pelajar lainnya terjatuh. Namun bagi mereka, kondisi jalan becek seperti ini bukan akhir dari segalanya.
“Ya, harus tetap sekolah. Karena rumah dekat dari sekolah,” tegasnya.
Belum lagi aturan sistem zonasi yang mewajibkan seluruh pelajar bersekolah, di lingkungan sekitarnya. Sehingga pelajar SMP 38 dipaksa untuk terbiasa menghadapi kondisi ini.
Sementara itu salah satu orangtua dari perwakilan komite sekolah Refilia Safitri, mengaku sudah berupaya mengadu dengan Pemkot Samarinda. Namun belum hingga saat ini belum ada tindak lanjut nyata.
“Kalau pemerintah sudah pernah datang. Tapi saya tidak tahu lagi kelanjutannya seperti apa,” tuturnya.
Sebelumnya, sempat heboh di beritakan bahwa SMP 38 masih terkendala dengan pembebasan lahan. Sebab jalan pendekatnya masih milik masyarakat. Sehingga perlu dibebaskan terlebih dahulu, sebelum melakukan pengecoran jalan. Hal inipun dibenarkan oleh Refilia. Namun ia tak ingin ikut campur dengan pihak pemilik lahan.
“Yang jelas kami menginginkan ada perbaikan jalan. Kasian anak-anak, sudah banyak yang jatuh disini,” pungkasnya. (hun/nha)