KARANG ASAM. Uang besar beredar dalam proses pengolongan kapal di bawah Jembatan Mahakam. Namun tarif yang dipatok Rp 1,8 juta pada setiap kapal yang akan melintas di kolong jembatan, rupanya tak menjamin keselamatan aset negara tersebut. Buktinya, jembatan yang dibangun sejak 1987 silam tersebut sudah 16 kali ditabrak. Bahkan dalam tahun ini saja, sudah 4 kapal yang menabrak.
Setiap kapal dengan ukuran tertentu yang akan melintas di Sungai Mahakam tentu sudah melaui izin Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Samarinda. Sementara PT Pelindo yang menerima uang tarif tersebut berkewajiban melakukan pemanduan terhadap setiap kapal sebelum melintas. Hal ini dilakukan demi menjaga keselamatan agar tidak ada kapal yang menabrak tiang atau fender jembatan.
Tapi kenyataannya insiden tertabraknya Jembatan Mahakam terus berulang. Perusahaan pemilik kapal yang menabrak fender jembatan diwajibkan melakukan perbaikan atau mengganti biaya ganti rugi. Angkanya berdasarkan tingkat kerusakan yang sudah dihitung oleh pihak Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kaltim.
Sejumlah perusahaan sudah memenuhi kewajibannya. Namun tak dipungkiri masih ada perusahaan yang belum membayar kewajibannya kepada negara. Nah dalam keadaan seperti ini, lantas di mana tanggung jawab PT Pelindo IV?
“Ketika ada dana pemanduan atau pengolongan yang disetor kepada pemerintah pusat, harusnya Pemprov Kaltim dan Pemkot Samarinda bisa menjalankan otoritasnya. Karena ini menyangkut nyawa warga Samarinda dan Kaltim. Pemerintah daerah berhak menegegur Pelindo karena tidak melakukan pemanduan, sehingga ada kapal yang menabrak tiang jembatan,” ujar Lutfi Wahyudi, pengamat kebijakan publik dari Universitas Mulawarman (Unmul), Selasa (3/12) kemarin.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) ini menambahkan ketika uang tersebut masuk ke pusat, maka pihak yang paling bertanggungjawab adalah juga pemerintah pusat. Seharusnya gubernur dan wali kota menegur keras instansi terkait. Maka, kata dia, bisa dipahami oleh publik bahwa setiap ada penabrakan Jembatan Mahakam tidak ada penanganan secara tuntas. Karena sumber dana yang masuk dan bisa digunakan lalu lintas air, pemerintah daerah tidak mendapatkan bagian dana tersebut.
“Saya mengambil kesimpulan sementara bahwa teka-teki penyelesaian kasus ini salah satu penyebabnya karena pembagian dana pemanduan tidak masuk di kas daerah. pemerintah pusat jangan diam diri, karena ini tanggungjawab mereka,” ungkapnya.
Dirinya juga menegaskan bahwa sebenarnya hal ini bisa masuk regulasi daerah dengan sistem bagi hasil. Agar tidak ada banyak pungutan yang ada, seharusnya ada sistem bagi hasil untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik untuk Kaltim dan Pemkot Samarinda.
“Maka keselamatan dan pemeliharaan jembatan bisa dilakukan daerah bersama dengan pusat. Kalau seperti ini kan hanya pusat yang bertanggung jawab. Warga yang melintas di jembatan adalah warga Kaltim, namun karena dananya ke pusat maka bagi hasil dianggap tepat untuk menyelesaikan kasus ini,” tuturnya.
Menurutnya, perusahaan juga akan mengelak ketika mereka dimintai pertanggungjawaban. Karena ada dana yang sudah dibayarkan, seharusnya Pelindo yang bertanggungjawab akan penabrakan ini. Hal ini dianggapnya sama dengan kasus jaminan reklamasi yang dibayarkan kepada pemerintah pusat. (mrf/nha)