LEMPAKE. Hasil penelusuran Balai Wilayah Sungai (BWS) III Kalimantan menyimpulkan bahwa luapan air di Bendungan Benanga, Lempake, Samarinda Utara, pada banjir besar yang terjadi sepekan lalu, akibat air yang datang dari bekas galian tambang di sekitar bendungan.
Tak ingin spekulasi itu berkembang liar, Dinas Pertambangan Energi dan Mineral (Distamben) Kaltim pun melakukan penelusuran dengan menerjunkan tim ke lapangan.
Hasilnya, Kepala Distamben Kaltim, Wahyu Widhi Heranata mengungkapkan bahwa memang ada beberapa perusahaan tambang ditemukan di sekitar bendungan. Bahkan ada yang ilegal.
Namun dia memastikan tidak ada aliran air kolam tambang masuk ke bendungan Benanga saat terjadi bencana banjir pada 12-16 Januari 2020 lalu.
“Memang ada tambang, tapi tidak ada aliran masuk ke waduk. Kami sudah investigasi.
Saya sudah laporkan ini ke Pak Wagub (wakil gubernur Hadi Mulyadi, Red),” ujar Wahyu, Senin (20/1) lalu.
Didit —sapaan akrabnya— menambahkan ada 3 hingga 4 lubang tambang berada dekat waduk. Termasuk lubang tambang ilegal yang ditemukan oleh timnya.
“Di dekat waduk ada perusahaan tambang legal. Seperti PT Insani Bara Perkasa dan PT Lana HaritaHarita dekat di situ,” ungkapnya.
“Kemarin ada dugaan airnya melimpah ke waduk. Ternyata bukan,” sambungnya.
Sebelumnya, pada 13 Januari lalu, kenaikan Tinggi Muka Air (TMA) di waduk ini mencapai 85 sentimeter atau level kuning siaga.
Kondisi ini dianggap tak wajar. Kenaikan TMA terjadi sangat cepat dalam hitungan jam.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradama Rupang juga mengakui bahwa memang ada lubang tambang di sekitar waduk.
Bahkan jumlahnya mencapai 20-an titik.
“Kami belum dapat laporan dari masyarakat terkait ada lubang tambang yang jebol. Tapi memang waduk itu over kapasitas, karena wilayah di atas waduk banyak aktifitas pembongkaran batu bara,” katanya.
Rupang mengatakan, tambang-tambang yang ada ini memang berkontribusi besar pada penumpukan sedimentasi di waduk tersebut. Karena wilayah-wilayah yang dulunya bukit sebagai resapan air juga tidak berfungsi lagi setelah berubah menjadi tambang batu bara.
“Ada lebih dari 20an perusahaan tambang . Kebanyakan ilegal yang beroperasi di sana. Ilegal ini yang jelas memperparah. Karena mereka tidak melakukan pemulihan setelah ada aktifitas pertambangan. Tidak mengherankan hal ini terjadi, karena sulit membedakan legal dan tidak di sana,” pungkasnya. (mrf/nha)