Setelah menonton film A Monster Calls di stasiun tv swasta, saya jadi teringat akan pengalaman yang dilalui oleh seorang teman. Tidak sama persis, tapi secara garis besar ada beberapa kemiripan. Memasuki semester empat perkuliahan, dapat dikatakan bahwa Zura adalah role model dari para mahasiswa. Kelas, organisasi, dan nongkrong, adalah tiga kesibukan rutin Zura.
Saya juga menganggap, bahwa Zura adalah anak yang pandai, setidaknya lebih pandai dari saya. Zura juga sangat baik, dan tidak sombong. Ketika ada temannya yang mengalami kesulitan, ia akan ikhlas membantu.
Memasuki pertengahan semester empat perkuliahan, tepatnya beberapa minggu setelah UTS, Zura menjadi pribadi yang berbeda. Zura menjadi mahasiswa kupu-kupu, tiba-tiba saja Zura mengundurkan diri dari organisasi kampus yang diikutinya, bahkan Zura sudah begitu jarang bergaul dan bermain bersama.
Menyadari perubahan tersebut, saya dan kawan lainnya berasumsi akan berbagai hal yang tidak masuk akal. Tapi, lama-kelamaan capek juga berasumsi. Hingga suatu saat, kami menanyakan langsung kepada Zura, akan perubahan perilaku yang terjadi. “Aku sibuk. Aku ambil kerjaan part time di toko cuci sepatu deket rumah, sorry yak heheheh,” jawab Zura.
Kami percaya, mahasiswa mengambil kerjaan part time, adalah hal yang normal, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh, saya juga mengalaminya sendiri, sehari-hari saya juga berkerja part time sebagai driver ojek daring. Semester empat telah usai, saatnya liburan. Seperti mahasiswa pada umumnya, saya dan kawan-kawan menyiapkan rencana liburan. Saat itu destinasi tujuan kami adalah Pulau Pari.
Pulau tersebut kami pilih lantaran lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Bogor. Dari banyaknya nama yang ikut liburan, ada satu nama yang memutuskan untuk tidak ikut. Ia adalah Zura.
“Baru juga kerja beberpa minggu, masa udah izin liburan. Hehehe,” jawab Zura ketika ditanya alasan mengapa ia tidak ikut liburan bersama kami. Alasan tersebut sangat masuk akal, dan kami semua pergi berlibur tanpa Zura.
Masuk semester lima, kami dapat kabar bahwa Zura memutuskan untuk cuti kuliah. Saat itu kami merasa ada hal yang disembunyikan oleh Zura. Kami menanyakan kabar Zura melalui chat Line, dan jawaban yang diberikan oleh Zura sangat tidak memuaskan kami.
Salah satu kawan mengusulkan untuk mengunjungi rumah Zura, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Usul diterima, sore hari setelah kelas kami beramai-ramai ke rumah Zura, kebetulan ada seorang kawan yang mengetahui rumahnya. Dari kampus, kami berangkat menuju rumah Zura.
Jarak rumah Zura dari Kampus lumayan jauh. Kami baru sampai tujuan sekitar pukul 19:00. Kami diterima oleh Bu Damayanati, ibunya Zura. Kami semua diterima di ruang tamu, disuguhkan air mineral, beserta camilan biskuit manis. Lantas, kami menjelaskan maksud tujuan kedatangan kami kepada Bu Damayanti. “Kami ingin bertemu dengan Zura, Bu. Kami dapat kabar bahwa Zura mengambil cuti, kami juga ingin tahu kabar tentang Zura.”
“Zura, baik-baik saja,” Bu Damayanti menjawab dengan tersenyum tipis.
Tidak lama setelah menjawab air mata Bu Damayanti mulai tumpah secara perlahan. Setelah mengatur tempo bernafas, Bu Damayanti barulah bercerita. “Bapaknya Zura sakit keras, baru beberapa bulan yang lalu didiagnosa kanker, sekarang lagi menjalani pengobatan kemoterapi di RS Kanker Dharmais. Zura dan saya bergantian menjaga dan merawat Bapak. Kalau saya yang merawat Bapak di rumah sakit, maka Zura yang merawat dan menjaga adik-adiknya yang masih kecil di rumah,” kata Bu Damayanti.
“Perjuangan mengatasi kanker ini panjang, kemoterapi bisa dilakukan belasan kali. Setelah kemoterapi, bapak akan dibawa ke rumah, dan setidaknya seminggu dua kali harus ke RS Kanker Dharmais. Pertama, untuk cek darah. Kedua, untuk kontrol dokter. Makanya Zura capek, dan jadi kurang fokus kuliah, akhirnya ia memilih untuk cuti,” lanjut Bu Damayanti.
“Bu, apakah kami boleh membezuk Bapak?”
“Boleh, tapi nanti saja kalau udah dirawat di rumah. Dua hari lagi sudah pulang.”
*
Tiga hari kemudian, kami kembali mengunjungi rumah Zura. Kebetulan Zura juga sedang berada di rumah. Ia menceritakan bahwa bapaknya terkena kanker limfoma. Penyakit yang dideritanya terdeteksi setelah memasuki stage yang berbahaya.
Keluarga semua kaget saat mengetahui penyakit yang diderita Bapak. Sebab, Bapak sangat aktif berkegiatan fisik, seperti bersepeda, main ping pong, sesekali memancing. Bapak bahkan tidak merokok. Seorang keluarga juga menawarkan untuk membawa Bapak ke Penang, Malaysia, tapi pusing masalah biaya. Anggota keluarga yang lain menyuruh berobat di RS Kanker Dharmais saja dengan BPJS.
Saran tersebut diikuti, dan ternyata BPJS sangat membantu untuk masalah finansial. Bayangkan untuk berobat kanker tanpa BPJS, bisa menghabiskan ratusan juta, hingga milyaran. Keluarga besar Zura juga banyak yang malah memberikan saran aneh. Ada yang meminta agar Bapak mengunjungi pengobatan alternatif berbasis keris, ada juga yang menawarkan agar Bapak menghisap rokok herbal. Saran tersebut sangat mengkhawatirkan Zura, untung saja saran tersebut langsung ditolak.
Zura juga menceritakan tentang para pasien di RS Kanker Dharmais. Zura menuturkan bahwa pasien yang datang bukan hanya dari wilayah Jabodetabek saja, tapi dari berbagai wilayah di Indonesia. Ia bahkan berkenalan dengan salah satu pasien dari Bengkulu.
Karena banyak pasien yang datang dari daerah yang jauh, makanya dibelakang RS Kanker Dharmais terdapat banyak kosan, bahkan ada LSM yang menyediakan rumah singgah. Zura juga mengaku, bahwa dirinya sangat ingin untuk kembali ke kampus.
“Kondisi seperti ini jauh lebih melelahkan lahir dan batin, kadang-kadang stres juga. Bukan cuma bapak saja yang menderita, yang merawat pun juga ikut menderita,” Zura menerangkan. Tiba-tiba saja Pak Anton, bapaknya Zura, keluar dari kamar menuju ke toilet, Pak Anton melihat kepada kami sambil tersenyum, Pak Anton terlihat sangat kurus, dan lelah, tapi dari raut mukanya nampak semangat untuk kembali pulih seperti sebelumnya.
Memasuki semester enam, akhirnya Zura sudah bisa kembali ke kampus, hanya 15 sks yang diambil. Zura terlihat lebih tenang sekarang. Lantaran saat sampai di surga, Pak Anton, bapaknya Zura sudah tidak merasakan sakit lagi. (*/nha)