SAMARINDA. Klaim pemkot Samarinda yang menyatakan bahwa tanah dan bangunan yang ditempati DPD II Golkar dibantah keras oleh sesepuh partai berlambang beringin tersebut. Berdasar keterangan kontraktor yang terlibat dalam proses pembangunan, tak ada kontrak kerja sebagaimana biasa jika proyek bersumber dari kas daerah.
Pernyataan ini diungkap dalam kegiatan silaturahmi antara pengurus DPD II Golkar bersama para seniornya, Sabtu (28/8). Sebagaimana dituturkan oleh Syamsuddin Djaprie, kontraktor yang menangani pembangunan gedung di Jalan Dahlia Samarinda itu. Di mana ia menjadi satu di antara saksi yang mengetahui persis kronologi berdirinya bangunan yang kini menjadi polemik tersebut.
“Awalnya sekretariat berada di kawasan Pinang Babaris, pinjaman dari Suryadi, seorang warga keturunan. Sampai akhirnya wali kota saat itu, Waris Husein, yang juga Ketua Dewan Penasehat menawarkan pinjaman lahan milik pemerintah untuk dijadikan kantor Golkar,” tuturnya.
Tapi kondisi lahan pada waktu itu masih berupa kuburan. Sehingga langkah awal dilakukan penggusuran makam warga keturunan atas perintah wali kota. Hingga akhirnya dari dana yang terkumpul, mulailah dilakukan pemancangan fondasi hingga finishing untuk lantai satu.
“Jadi saya juga yang terlibat dari mulai mengumpulkan dana, hingga tulang belulang jenazah untuk dipindahkan,” imbuh pria kelahiran 16 September 1945 itu.
Meski tak terdaftar sebagai pengurus, kedekatan Syamsuddin dengan Noor Aliyansah, ketua DPD II Golkar saat itu, maka ia diminta menjadi kontraktor pembangunan. Selain itu lelaki yang kini berusia 76 tahun itu, juga kerap mendapatkan proyek dari Waris Husein selaku wali kota.
Syamsuddin berani menegaskan bahwa tak ada satu pun kontrak kerja sama yang ditandatangani untuk proyek gedung tersebut. Di mana legalitas seperti tender dan pertanggungjawaban menjadi dokumen wajib di setiap proyek yang bersumber dari APBD.
Sementara itu, Ketua DPD II Partai Golkar Samarinda H Hendra, atas keterangan senior dan saksi hidup, mempertanyakan klaim wali kota, bahwa lahan dan bangunan adalah milik pemkot. Karena dari penuturan para sesepuh, untuk pembangunan gedung didapat dari hasil swadaya kader. Kemudian ada juga bantuan dari DPP dan DPD I Golkar saat itu.
“Kita akui itu tanah milik negara, tapi kalau bangunan tidak. Lantas apakah ada buktinya jika gedung dibangun dari APBD?,” cetus Hendra.
Menurut Hendra, tanah ini juga sejatinya bukan milik pemkot. Itu merupakan milik negara, yang kemudian berdasar Surat Keputusan (SK) Gubernur masa itu, lahan seluas sekira 7 ribu meter persegi itu dipinjam pakaikan ke pemkot.
“Jadi kita ini sama-sama pinjamlah,” ujarnya.
Hendra juga tidak mengaku pernah menyetujui pemindahan aset ke pemkot. Sejauh ini pihaknya hanya berusaha melakukan langkah persuasif, untuk mencari win win solution. Bahkan hingga saat ini, barang-barang inventaris partai juga masih berada di tempat.
“Wali kota harusnya bijaklah, masih banyak hal penting lain yang harus diprioritaskan. Kenapa kok ini malah terkesan dikejar banget,” Hendra mempertanyakan.
Namun Hendra enggan berspekulasi bahwa hal ini memiliki indikasi politis. Ia menyerahkan hal itu kepada masyarakat untuk menilainya.
“Mari kita duduk bersama, upayakan yang terbaik. Klaim bahwa tanah dan bangunan adalah milik pemkot harus dibuktikan, jika tidak kami siap menempuh langkah hukum,” tegasnya memungkasi. (rz/beb)