Oleh:
Dr. Elviandri, S.HI., M.Hum *)
PENGESAHAN UU IKN menjadi diskursus dan topik menarik yang selalu diperbincangkan di sejumlah media. Mulai dari Proses legislasi sampai materi muatan UU IKN tak luput dari sorotan masyarakat. Pengaturan tentang badan otorita IKN sebagai kedudukan pemerintahan khusus di ibu kota baru menjadi topik perbincangan yang paling menyita perhatian.
Jika kita ingin memetakan pandangan dan pendapat berbagai ahli dan yang berkembang dalam masyarakat, maka setidaknya ada tiga sudut pandangan tentang keberadaan otorita IKN: Pertama, pengaturan otorita ini dianggap melanggar konstitusi. Ini didasarkan pada Pasal 18, 18A ayat (1) dan 18B ayat (1) dan Pasal 18B UUD tahun 1945 yang yang menyebutkan jenis pemerintahan daerah yang meliputi provinsi dan kabupaten/kota.
Konstitusi memang mengakui adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus, tapi pengaturannya masih dalam bentuk provinsi maupun kabupaten/kota bukan dalam bentuk Otorita.
Kedua, memotret dari sisi pelaksanaan demokrasi. Otorita IKN nantinya hanya akan melaksanakan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pemilu anggota DPR, dan pemilu anggota DPD. Pemilu gubernur dan DPRD tempat otorita IKN itu berada, ditiadakan. Dengan demikian penyerapan aspirasi rakyat lokal tidak bisa diwujudkan. Sementara semangat yang diusung demokrasi adalah sebagai jalur aspirasi atau penyerapan konteks representasi warga. Dan yang lebih dihawatirkan adalah otorita di IKN ini bisa saja menjadi otoritarianisme di tingkat lokal karena hanya dikendalikan oleh eksekutif.
Ketiga, dari sudut pandang administasi negara. Maka, konsep otorita pada dasarnya adalah organisasi pemerintah pusat yang pejabatnya mendapat delegasi dari pemerintah pusat untuk melaksanakan kewenangan tertentu otorita, bukan daerah atau badan hukum. Prinsipnya sebagai delegasi dan cabang kekuasaan pemerintah pusat untuk mengurusi kepentingan pemerintah pusat yang ada di kawasan itu maka, otorita IKN mestinya hanya menjalankan peran atau perpanjangan tangan pemerintah pusat tidak dapat mengatur kepentingan-kepentingan publik atau masyarakat.
Tulisan ini tidak sedang ingin menghakimi peta konsep yang berkembang dalam masyarkat tentang keberadaan otorita IKN ini, namun lebih kepada memberikan pandangan alternatif dalam melihat konteks ini. Jika kita cermati pandangan di atas dengan seksama, maka kita bisa memahami bahwa yang menjadi perdebatan dalam masyarakat mulai dari kedudukan, kewenangan dan fungsi otorita IKN.
Kita tidak ingin status otorita di IKN Nusantara berpotensi polemik sebagaimana status Otorita Batam, yang kemudian disebut Badan Pengusahaan Batam. Masalah dihadapi oleh Otorita Batam adalah tumpang tindih kewenangan dalam pelayanan publik termasuk dalam hal perizinan.
Keberadaan IKN baru di Kaltim seperti sisi dua mata uang. Satu sisi menjadi kebanggaan karena Kaltim menjadi IKN baru dan dicatat dalam sejarah perkembangan Indonesia, namun di sisi lain dihawatirkan keberadaan IKN tidak memiliki dampak yang positif bagi warga masyakat tempatan, termasuk didalamnya keberadaan Otorita IKN. Ada empat hal yang mestinya diperhatikan dalam membuat kebijakan terkait Otorita IKN dan IKN baru, yaitu;
Pertama, harus dipastikan terlebih dahulu tentang kedudukan, kewenangan dan fungsi Otorita IKN, jangan sampai dalam perjalanannya nanti tumpang tindih dengan pemda setempat. Karena, wilayah otorita ini merupakan bagian dari wilayah pemda yang menjadi “tuan rumah” atas wilayah tersebut.
Kedua, dalam pengelolaan otorita IKN ini semestinya gubernur Kaltim, bupati Penajam Paser Utara, wali kota Samarinda dan wali kota Balikpapan sebagai kota penyangga IKN baru menjadi Jabatan Ex-Officio pada struktur Otorita IKN. Karena bagaimana pun juga IKN baru berada pada wilayah mereka.
Ketiga, otorita IKN didesain hanya sebagai sebuah badan atau lembaga yang diperuntukkan untuk mempersiapkan dan mewujudkan IKN baru, mulai dari infrastruktur dan suprastrukturnya. Nantinya apabila IKN baru ini telah selesai dibangun maka dengan sendirinya tugas dan kewenangan Otorita IKN ini berkahir.
Keempat, setelah berakhirnya tugas dan kewenangan otorita IKN maka IKN baru menjadi bagian daerah khusus. Kalau daerah khusus maka tetap ada gubernur dan DPRD sebagaimana amanah UUD 1945.
Jangan sampai pembentukan peraturan yang mengatur otorita IKN dan IKN baru serta seluruh turunan kebijakannya itu mengedepankan friksi-friksi dan kepentingan politik tertentu dan mengabaikan kepentingan bangsa. IKN baru ini harus dibangun dengan spirit nilai-nilai Pancasila yang diarahkan untuk mencapai pemerataan nasional dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan sebagai perwujudan dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga. (*/nha)
*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) Samarinda