Muslimah Ade Maya Saputri
Universitas Airlangga
SALAH satu isu yang sedang hangar diperbincangkan belakangan ini yaitu tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, atau disebut dengan kesetaraan gender. Pemaknaan terhadap istilah kesetaraan gender ini, khususnya mengenai masalah ketimpangan antara keadaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki di masyarakat.
Mengapa isu itu muncul dan menjadi suatu perdebatan panjang, bahkan dapat menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat? Hal itu dikarenakan, perempuan masih memiliki kesempatan terbatas dibandingkan laki-laki untuk berperan aktif dalam berbagai program dan aktivitas lainnya di masyarakat. Seperti halnya di bidang ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, organisasi kelembagaan dan sebagainya. Keterbatasan ini berasal dari berbagai nilai dan norma yang membatasi ruang gerak perempuan dibandingkan laki-laki.
Munculnya tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan perlu direspons secara proporsional, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Jika tidak terdapat respon dari salah satu pihak, maka isu kesetaraan ini hanya menjadi suatu wacana yang tak berujung.
Sikap yang perlu dilakukan sebagai upaya merespons isu kesetaraan ini adalah dengan memperjuangkan keseimbangan gender, menguntungkan kedua gender, memberikan kesempatan yang sama pada kedua gender, serta menegakkan keadilan bagi kedua gender.
Kita perlu menyikapi isu kesetaraan ini sebagai wujud kepedulian terhadap berbagai aktivitas hidup yang mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara umum. Sayangnya di Indonesia masih banyak menunjukkan adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Bias gender terjadi apabila salah satu pihak dirugikan, sehingga mengalami ketidakadilan. Yang dimaksud ketidakadilan di sini adalah apabila salah satu jenis gender lebih baik dalam keadaan, posisi dan kedudukannya.
Bias gender tersebut bisa saja terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, khususnya di Indonesia, bias gender ini lebih dirasakan kaum perempuan. Sebenarnya ketimpangan gender yang merugikan perempuan ini dapat merugikan masyarakat secara menyeluruh dengan ketidaksengajaan. Apabila perempuan diposisikan tertinggal, maka perempuan tidak dapat menjadi mitra yang sejajar dengan laki-laki. Sehingga hubungan kedua pihak akan menjadi timpang.
Akibatnya, terjadilah ketidakserasian dan ketidakharmonisan dalam kehidupan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dan kehidupan masyarakat secara umum. Semakin tingginya tuntutan, kesadaran dan kebutuhan perempuan terhadap pengembangan diri semakin tinggi. Maka timbullah konflik dikarenakan perempuan membutuhkan kesempatan yang sama dalam meningkatkan kualitas pada dirinya.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa pendapat tersebut sudah sangat pro terhadap kaum perempuan yang bisa menjadi problematika berkelanjutan. Dengan adanya kesetaraan gender besar-besaran antara laki-laki dan perempuan, hal itu dapat membuat seorang wanita menjadi lebih independent, fokus terhadap pekerjaan, untuk mengejar tujuan yang ia buat. Mereka akan memilih bersenang-senang sendiri, tanpa adanya hubungan dengan kaum pria.
Hal ini dapat menyebabkan fenomena baru seperti resesi seks yang saat ini saja telah melanda Jepang dan Singapura. Fenomena ini juga akibat gender laki-laki dan perempuan sudah sangat setara. Sehingga membuat mereka lebih fokus kepada pekerjaan, dan jarang memperhatikan faktor kesehatan.
Situasi tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan seseorang bila kesehariannya hanya disibukkan dengan bekerja tanpa memikirkan kesehatan fisik. Hal ini juga akan sangat berdampak terhadap angka kelahiran di suatu negara yang menurun. Dampak lain dari fenomena ini juga terhadap angka kematian, serta jumlah masyarakat yang berumur atau sudah tidak produktif dalam reproduksi meningkat pesat.
Terdapat pendapat bahwa keturunan dapat diperoleh melalui bayi tabung. Tapi perlu diketahui bahwa hal itu juga tidak dapat menjadi alternatif sepenuhnya. Selain karena biayanya yang tidak murah, setiap individu juga memang sudah ditakdirkan berpasang-pasangan. Hal ini tak hanya berkaitan erat dengan kesehatan fisik, namun juga psikologis seseorang.
Pendapat mengenai derajat antara perempuan dan laki-laki harus sama itu memang benar dan sangat didukung. Akan tetapi, hal itu juga harus diimbangi dengan pola pikir yang baik ke depannya. Dimana, setiap individu tidak bisa melakukan berbagai hal sepenuhnya sendiri.
Kembali lagi ke permasalahan kontra di awal. Orangtua tentu saja cemas terhadap anak perempuan mereka yang bila diberikan kebebasan secara penuh. Karena bisa saja terjadi opsi perempuan tersebut akan mengalami masa-masa dimana mereka sudah tidak memerlukan laki-laki karena sudah merasa superior.
Dengan adanya pro dan kontra antara kesetaraan gender tersebut, sebagai mahasiswa, terutama yang masuk ke dalam kaum perempuan, sebenarnya saya sangat mendukung kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, meski kedepannya hal ini bisa berpotensi terjadi krisis resesi seks yang menyerang Jepang dan Singapura. (*/aya)