SAMARINDA. Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai negara hukum, Indonesia telah menjamin kebebasan berekspresi sejak awal kemerdekaan melalui UUD 1945.
Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan Kemkominfo, Bambang Gunawan menegaskan bahwa masyarakat memiliki lebih banyak medium untuk memperoleh informasi dan bertukar pikiran. Salah satunya melalui internet dan media sosial, peredaran data dan informasi di dunia maya berlangsung dengan amat cepat dan dinamis. Sebagai Negara ke 4 dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia, Indonesia merasakan juga derasnya arus informasi yang terjadi.
“Dengan adanya kegiatan webinar ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terkait hak dasar masyarakat untuk mengemukakan pendapat, cara menggunakan hak tersebut secara bijak, serta memahami kondisi terkini terkait kebebasan berekspresi dalam skala yang lebih luas di kawasan ASEAN,” ujarnya ketika membuka Forum WEBINAR SERIES #2 ASEANTALK dengan tema “ASEAN, HAM, dan Kebebasan Berekspresi” pada hari Kamis (16/06/2022) di Gedung Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda.
Sementara itu, Prof Dr Drs Henri Subiakto, SH M.Si menyatakan teknologi itu mengubah kehidupan manusia, technological activity leads economical conectivity also cultural activity. “Teknologi dapat membuat kita terkoneksi secara politik, sosial, dan budaya,” paparnya.
Oleh karena, itu agar terciptanya ruang digital yang bersih, sehat, dan beretika, serta dapat dimanfaatkan secara produktif maka dibuatlah UU ITE yang lahir dari semangat demokrasi.
Menurut Koordinator Hukum dan HAM Direktorat Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN, Irwansyah Mukhlis, hak yang sama yang dimiliki orang secara luring harus dilindungi secara daring, khususnya kebebasan berekspresi yang berlaku, terlepas dari pembatasan dan melalui media apapun yang dipilih, sesuai dengan pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Wakil Indonesia untuk Asean Intergovernmental Comission Human Rights (AICHR), Yuyun mengemukakan bahwa membedakan ujaran kebencian dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat tidaklah mudah, dibutuhkan analisis mendalam. “Walaupun sudah diatur di hukum internasional, ujaran kebencian susah didefinisikan secara mudah. Beberapa negara di ASEAN merespons hal ini dengan memakai UU lama maupun baru, seperti KUHP di Indonesia yang digunakan untuk meredam ujaran kebencian”, tambahnya.
“Hak atas kebebasan berekspresi bukanlah hak mutlak, dan Negara dapat, dalam keadaan luar biasa, membatasi hak berdasarkan hukum hak asasi manusia Internasional,” kutipnya.
Kemudian Dekan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Dr Mahendra Putra Kurnia,SH, MH menambahkan kebebasan berekspresi melalui deklarasi Human Rights ASEAN sudah dilindungi.
Ada beberapa solusi konkret demi meraih kebebasan berekspresi di Indonesia yakni pehaman budaya digital perlu untuk terus disebarluaskan kepada masyarakat, kecerdasan hukum menjadi hal yang sangat penting untuk merespons perkembangan teknologi, khususnya digunakan sebagai sarana untuk berekspresi, dan terus berusaha untuk mencari kesepahaman bersama untuk memaknai kebebasan berekspresi.
“Jadi, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk berekspresi termasuk kebebasaan berpendapat tanpa gangguan baik secara lisan, tulisan, atau cara-cara lain yang dipilih oleh orang tersebut,” tutupnya. (adv/mrf/beb)