KARANG PACI. Perjuangan kelompok nelayan di Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara (Kukar) yang menuntut ganti rugi terhadap dugaan pencemaran di Muara Berau dan Muara Jawa, belum berhenti. Rabu (9/10) kemarin komisi gabungan di DPRD Kaltim kembali memanggil sejumlah perusahaan yang beraktivitas di perairan tersebut. Kali ini pemanggilan tidak hanya kepada PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PTB) selaku perusahaan pemilik konsesi pelabuhan lepas pantai di perairan tersebut. Gabungan Komisi I, II dan III secara khsusus juga memanggil perwakilan 10 perusahaan floating crane. Floating crane merupakan alat untuk memindahkan batu bara dari tongkang ke mother vassel atau kapal raksasa pengangkut batu bara.
Dalam hearing tersebut terungkap bahwa terdapat 13 unit floating crane di perairan Muara Berau dan Muara Jawa. 13 floating crane inilah yang dioperasikan oleh 10 perusahaan yang mayoritas berasal dari luar negeri. Namun hanya 8 perwakilan perusahaan yang hadir dalam hearing kemarin. Sayangnya, sebagian besar perwakilan perusahaan tersebut tidak diwakili jajaran direksi yang bisa mengambil keputusan. Hal ini pun sempat memicu perdebatan di awal hearing.
Anggota Komisi II DPRD Kaltim Sapto Setyo Pramono yang memimpin jalannya hearing bahkan sempat meminta beberapa orang perwakilan perusahaan untuk meninggalkan ruangan. “Percuma Anda hadir kalau tidak mampu memberikan keputusan apa-apa. Dalam undangan yang kami kirimkan sejak beberapa minggu lalu sudah jelas bahwa yang hadir dalam pertemuan ini harus jajaran direksi. Karenaa kan ada keputusan penting yang harus diambil,” tegas Sapto.
Pemanggilan 10 perusahaan floating crane ini merupakan tindak lanjut dari hearing serupa yang digelar pada 20 September 2022 lalu. Saat itu, politisi Karang Paci —sebutan anggota DPRD Kaltim—- menyampaikan keluhan nelayan yang selama ini berkaktivitas di perairan Muara Berau dan Muara Jawa. Kelompok nelayan mengeluhkan adanya dugaan pencemaran di perairan tersebut yang mengakibatkan penghasilan mereka turun drastis.
Saat itu, DPRD memanggil manajemen PT PTB yang dihadiri Direktur Pengembangan Bisnis PT PTB Kamaruddin Abtami. Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa tidak ada pencemaran di Muara Jawa dan Muara Berau.
Ini sesuai penelitian yang dilakukan Laboratorium Kualitas Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FKIP) Universitas Mulawarman (Unmul). Di sisi lain, PT PTB juga belum melakukan aktivitas apa-apa di wilayah konsesinya karena masih menunggu keputusan tarif dari Kementerian Perhubungan (Kememhub), sehingga secara tidak langsung tidak bertanggung jawab terahadap adanya dugaan pencemaran.
Namun bukan berarti di perairan tersebut tidak ada aktivitas. Diketahui bahwa selama ini aktivitas Ship to ship (STS) transfer sudah lama dilakukan oleh belasan perusahaan floating crane. Karena itulah, DPRD mengalihkan pertanggungjawaban terhadap dugaan pencemaran tersebut kepada perusahaan floating crane.
Dugaan tersebut diperkuat dari dokumen yang diterima Samarinda Pos bahwa satu dari 10 perusahaan floating crane tersebut diduga tidak memiliki izin lingkungan.
Perusahaan yang dimaksud adalah PT Pelayaran Sinar Shipping Indonesia (PSSI). Perwakilan PT PSSI sebenarnya hadir dalam hearing kemarin. Sayangya harus keluar lebih awal karena perwakilan perusahaan yang hadir tidak bisa mengambil keputusan. “Lebih baik Anda keluar, dari pada tidak menghasilkan apap-apa,” tandas Sapto yang diikuti dengan keluarnya dua orang perwakilan PT PSSI.
Dalam surat yang dikeluarkan Balai Pengamanan dan Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan pada 30 April 2021, PT PSSI diminta memenuhi sejumlah kewajiban sebagaimana terlampir. Kewajiban yang dimaksud di antaranya memenuhi izin kepada PT PTB selaku pemilik konsensi tempat PT PSSI melakukan aktivitas bongkar muat melalui floating crane.
Sapto yang ditemui usai hearing kemarin tampak begitu emosional. Dia secara tegas meminta seluruh perusahaan floating crane tersebut berkomitmen untuk memenuhi tuntutan nelayan. “Mereka yang dapat cuan (uang), kami (DPRD) yang mendapat keluhan. Jadi perusahaan tersebut harus ikut bertanggung jawab. Kalau tidak, y akita siap hold (hentikan aktivitas),” tegas Sapto.
Hearing yang berlangsung sekitar 3 jam tersebut dihadiri Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud dan Ketua Komisi II Nidya Listiyono serta sejumlah anggota DPRD Kaltim lainnya. Hadir juga Kasi Keselamatan Berlayar, Penjagaan, dan Patroli KSOP Samarinda Captain Slamet Isyad dan perwakilan dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kaltim, Dinas Perikanan dan Keluatan (DKP) Kaltim serta Dinas ESDM Kaltim. (*/nha)