SUNGAI MAHAKAM. Pascainsiden penabrakan pilar 3 Jembatan Mahakam oleh kapal pengangkut batu bara, dua pekan lalu, sejumlah pihak dituntut bertanggung jawab. Antara Pelindo dan pemilik kapal saling tunjuk siapa yang harusnya memiliki tanggung jawab besar pada proses pengolongan kapal di bawah Jembatan Mahakam tersebut. Ketua DPC Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Samarinda, Agus Sakhlan menyebut, seharusnya kerugian atas pertanggungjawaban dari tragedy itu turut ditanggung Pelindo IV Samarinda.
Alasannya karena kelalain yang menyebabkan kejadian itu, bukan murni dari awak kapal Tug Boat (TB) Mitra Anugrah 1 yang menarik tongkang BG APOL 3017 bermuatan batu bara. “Kan, kalau tidak ada orangnya, kapal itu kan tidak bisa jalan. Alur di situ (Jembatan Mahakam) harus wajib pandu. Berarti harus ada pandu. Kecuali kapal jalan sendiri tanpa pandu, baru bisa disalahkan kaptennya. Tapi kalau kapten tidak dipandu, kan tidak boleh lewat di situ,” terang Agus. Seperti diketahui, Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (BBPJN) Kaltim telah merilis angka kerugian kerusakan pilar 3 Jembatan Mahakam.
Angkanya mencapai Rp 450 juta. Angka tersebut menjadi kewajiban yang dibebankan ke pihak perusahaan pelayaran atau pemilik kapal. “Untuk laporan dari anggota kami, memang belum masuk di INSA. Karena kepolisian masih mengurus ke KSOP. Namun ada rilis Kapolresta Samarinda Kombes Pol Ary Fadli yang menyatakan bahwa kelalaian disebabkan Pelindo. Di situ kami bisa adu argumentasi,” ujar Agus. “Berarti Pelindo harus bertanggung jawab. Tidak bisa lepas tanggung jawab, apalagi sudah ada rilis kelalaian,” lanjutnya.
Agus menganggap tanggung jawab Pelindo yang menaungi pemanduan bukan hanya kesalahan administrasi. “Itu tidak bisa kesalahan administrasi. Itu kan ada manusianya (pandu, Red) di atas kapal. Jadi mana bisa kesalahan administrasi. Ini murni kelalaian manusianya,” pungkasnya. Menanggapi persoalan ganti rugi, General Manager (GM) PT Pelindo IV Samarinda Jusuf Junus menyatakan dengan bayaran Rp 261.300 per sekali kegiatan yang dibagi dengan operasional, rasanya tidak pas jika menimpakan masalah ini kepada pandu.
“Sesuai Permen Nomor 57 Tahun 2015 menyatakan, pandu hanya sebagai advisor atau supervisi pelayaran selama di alur tersebut,” jelas Jusuf. Jusuf menegaskan bahwa nakhoda berhak untuk membantah apa yang disampaikan pandu, karena nakhoda yang lebih tahu dengan kondisi kapalnya. “Sesuai tugasnya, pandu itu hanya advisor dan supervisi. Tidak ada satu pun aturan yang melepaskan nakhoda dari tanggung jawab,” pungkasnya. (oke/nha)