BEMAMAI bagi masyarakat suku Banjar dan Kutai di Kaltim, tentu menjadi hal yang biasa dilakukan. Khususnya para ibu-ibu yang ingin memarahi anak atau siapa pun. Bagaimana jika bemamai ada lombanya? Dalam suku kata bahasa Banjar, bemamai diartikan mengomel atau mengoceh dengan nada yang tinggi dengan menyertakan kata-kata kasar di dalamnya. Nah, bemamai pun bagi masyarakat Kutai dan Banjar rupanya menjadi perhatian, juga dikompetisikan pada beberapa momen-momen adat dan di hari kemerdekaan.
Dimana, para peserta lomba bemamai didominasi oleh para ibu-ibu dan sering dilihat sebagai pelaku antagonis. Selamat Said Sanib, salah satu tokoh budaya di Kaltim yang saat ini aktif sebagai Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) di Universitas Islam Negeri Sultan Muhammad Idris (UINSI) Samarinda memberikan pendapatnya tentang bemamai. Menurutnya, salah satu budaya khas Kaltim ini perlu dikaji lebih mendalam. Bagaiamana manfaatnya dan juga apakah memang budaya ini perlu dilestarikan.
Terlebih yang menjadi aktor kebanyakan ibu-ibu atau perempuan, yang menstigmakan bahwa karakter wanita adalah sebagai seorang pemarah. “Esensi lomba sesungguhnya ingin mengangkat kesuksesan menjadi keteladanan. Apakah ada perempuan Kaltim yang sukses karier menggeluti profesi marah-marah?,”ucapnya kepada Sapos, Kamis (12/1) kemarin. Dirinya pun menyebut bahwa selama ini lomba-lomba terkait bemamai difasilitasi agar menjadi pengetahuan, motivasi, kreatifitas bahkan jadi tontonan dan tuntunan nilai edukasi dan keteladan bagi orang lain.
Tentu saja tujuannya agar mencontoh kesuksesannya terutama bagi anak muda dengan segala potensinya untuk diasah kreatifitasnya. “Secara komunikasi kenabian, tidak ada ajaran yang membenarkan kemarahan. Kerena sifat marah-marah dalam konteks tasauf bersemayamnya iblis di dahinya,” bebernya. Secara khusus, dirinya menyebut, dalam ajaran Islam memberikan solusi dalam komunikasi sebagai pembawa misi Rahmatan Lil Alamin. Yaitu dengan kesantunan berkomunikasi, karena setiap orang ingin dilayani dan diperlakukan secara baik.
Bahkan semua lini komunikasi dalam Islam tidak ada kandungan marah marah. Bahkan dirinya juga mengatakan bahwa marah-marah mempunyai banyak keburukan. Yaitu serangan jantung, penurunan fungsi jantung, stroke, sakit kepala, sulit tidur, melemahnya kekebalan tubuh, stres, gangguan kecemasan, depresi dan penuaan dini. “Dengan demikian, maka lomba bemamai dimaksud sama sekali tidak memberikan kemanfaatan apa pun, bahkan bagi pemenangnya tidak memberikan efektif positif bagi keluarga, lingkungan bahkan bangsanya,” ungkapnya.
Namun pandangan berbeda justru datang dari para peserta lomba bemamai yang diadakan oleh Pemprov Kaltim pada acara Pesta Rakyat Kaltim di Stadion Kadrie Oening, kemarin (12/1). Di mana pada lomba tersebut, membawa pesan edukasi yang juga disampaikan kepada masyarakat secara luas. Pegawai Diskominfo Kaltim Eka Rahmah yang menjadi juara pertama dalam lomba ini membawa tema kecanduan gadget yang kini tengah melanda masyarakat. Sehingga membuat siapa saja lupa waktu dan sudah mulai jarang bersosialisasi. “Menurut saya hal ini harus terus dibudidayakan, terlepas dari marah-marah itu tidak baik. Namun pelestarian bahasa dan pesan yang diutarakan di dalamnya jauh lebih bermanfaat,” pungkasnya. (mrf/nha)