MESKI jumlah pendudukanya tak mencapai 1 juta, namun nyatanya jumlah pendatang yang ada di Ibu Kota Provinsi Kaltim ini menjadi alasan tepat bahwa kota ini bisa disejajarkan dengan kota Metropolitan lainnya di Indonesia. Dilihat dari perkembangannya, memang tak semua wilayah terlihat tumbuh terutama di kawasan pinggiran kota yang berjulukan Tepian ini. Namun kota ini kerap menjadi persinggahan dan pusat perdagangan di antara kabupaten/kota tetangga.
Di balik megahnya kota yang ber-ikon hewan pesut ini, tentu saja menyimpan beragam persoalan yang kini menjadi PR besar bagi pemerintahan yang berkuasa. Salah satunya banjir yang selalu menjadi momok banyak orang kala hujan deras, permasalahan sosial, kesehatan dan pendidikan yang tak pernah habis diperbincangkan di kalangan masyarakat. Tentu masing-masing kelompok masyarakat punya pandangan tersendiri dalam melihat perkembangan kota ini.
Pertama disampaikan oleh Sejarawan Kaltim Muhammad Sarip, ia mengingatkan saat ini dengan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) di Kaltim, Bappenas telah memberi predikat Kota Samarinda sebagai jantung pusat sejarah Kalimantan Timur. Sehingga ia memandang perlu menggiatkan program yang relevan dengan literasi, terkhusus literasi sejarah lokal. Sebab saat ini tak semua masyarakat memahami akan budaya yang berkembang di Kota Samarinda. “Sedangkan semboyan baru sebagai Kota Pusat Peradaban, secara substansial dimulai dari pembudayaan literasi di masyarakat,” ujar Sarip.
Menurutnya, tonggak peradaban Nusantara itu bermula dari eksistensi aksara pada prasasti yupa di Bumi Ruhui Rahayu 16 abad silam. Sehingga dengan label sebagai Kota Peradaban ini bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pemerintah kota untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas literasi sejarah di ibu kota Kaltim ini. “Karena itu, fondasi peradaban Kota Samarinda yang sebenarnya adalah ketersediaan literatur tulisan yang memadai,” harapnya. Pandangan berbeda diungkapkan perwakilan akademisi Kota Samarinda Herdiansyah Hamzah, dosen Fakultas Hukum Universtias Mulawarman.
Pria yang sering disapa Castro ini justru menyentil tentang tagline Kota Peradaban, lantaran melihat kenyataanya selama ini kan cenderung keluar dari tagline kota beradab. Salah satunya ia melihat fenomena PKL Tepian Mahakam yang ditertibkan begitu saja tanpa relokasi, pendudukan di bantaran Sungai Karang Mumus digusur paksa serta persoalan insentif guru yang sempat memanas, menujukkan bahwa prioritas pemerintahan saat ini tidak pada pembangunan manusinya.
“Anehnya, pemkot disaat yang sama justru mengalokasikan dana untuk renovasi rumah jabatan plus kolam renang, kemudian terowongan gunung manggah dan lainnya. Semua proyek infrastruktur itu boleh, tapi prioritaskan dulu sektor pendidikan dan kesehatan,” jelasnya. Meski demikian ia tetap menyimpan harapan agar wali kota dan wakilnya bisa on the track dengan tagline Samarinda sebagai Kota Pusat Peradaban. Artinya, kota ini benar-benar harus dikelola dengan cara yang beradab, mengutamakan dialog, dan memberikan ruang partisipasi yang memadai bagi warganya.
“Keberadaban itu juga harus ditandai dengan prioritas pembagunan manusianya, bukan infrastrukturnya semata. Jadi sektor pendidikan dan kesehatan benar2 harus diprioritaskan jika ingin membangun manusia yang beradab,” papar Castro. Sementara itu Wakil Ketua DPRD Kota Samarinda H Rusdi juga memiliki catatan tersendiri untuk pemerintahan saat ini, terutama persoalan kesehatan di Samarinda. Sebab masih terdapat anak stunting serta tingkat pendidikan di kota ini, masih banyak berstatus SMA sederajat yang perlu dibina untuk mendapatkan kesempatan bekerja.
“Harapanya dengan bertambah usia Samarinda ini, jaminan kesehatan masyarakat terbantu, pendidikannya yang bermutu sehingga masyarakatnya tumbuh berdaya saing tinggi,” singkat Rusdi. Sedikit berbeda dengan sebelumnya, mewakili seniman dan musisi Kota Samarinda Novi Umar mengungkapkan bahwa saat ini memang masih banyak persoalan klasik layaknya penyakit turunan yang sejak lama, belum tuntas hingga saat ini. Seperti persoalan banjir, jalan rusak, serta kemacetan di berbagai titik jalanan.
Meski demikian jika terus-terusan menyampaikan keluhan dan kritikan tanpa kontribusi juga akan percuma, tanpa memberikan kontribusi terhadap kemajuan dan perkembangan kota ini. Untuk itu ke depannya ia berharap baik masyarakat maupun pemerintahnya bisa saling bekerja sama untuk memajukan kota ini. “Sehingga mewakili anak muda, harusnya kita bisa sama-sama memberikan kontribusi untuk menjadi cerminan kota ini agar semakin dibanggakan, selamat hari jadi kota saya tercinta, yang saya cintai dan banggakan.
Sementara itu salah seorang mahasiswa, Hastuti Tahir yang berstatus perantauan mengaku kerap mengeluhkan banjir, terutama yang terjadi di sekitaran kosnya di Jalan Pramuka dan dekat dari Kampus Unmul. Sebab hujan lebat sebentar, sudah terdapat genangan dan menghambat aktivitasnya untuk menyelesaikan tugas akhirnya.
“Sama satu lagi, banyak jalanan yang berlubang.
Bikin susah kalau bawa motor saat terburu-buru,” ungkapnya. Ia pun berharap memperingati hari jadi Kota Samarinda, menjadikan kota ini jauh lebih bersih, aman nyaman dan tentram. “Saya juga berharap semoga kuliner di Tepian buka lagi, karena jadi tempat andalan untuk hiburan dan cocok untuk kantong mahasiswa,” pungkasnya. (hun/nha)