SAMARINDA KOTA. Rentetan panjang masalah penetapan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Samarinda, tak kunjung mereda. Masing-masing pihak baik dari eksekutif maupun legislatif bersikeras dengan pandangannya.
Wali Kota Samarinda Andi Harun dengan Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Samri Shaputra, dipertemukan dalam diskusi yang difasilitasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Samarinda, Rabu (23/2) malam. Meski terlihat adem-ayem di awal, rupanya Andi Harun membuka diri agar diskusi itu berjalan, dibumbui dengan perdebatan.
Dari Samri sendiri mengatakan bahwa pihaknya tak pernah melakukan pembahasan, mengenai RTRW yang sebelumnya masih berstatus rancangan peraturan daerah (raperda). Sebab dari terusan surat itu diterima oleh pihaknya pada Januari lalu, namun secara tiba-tiba pada Senin (13/2) lalu diminta untuk mengesahkan raperda tersebut. Bahkan sebelumnya ia mengungkapkan bahwa dari Bapemperda juga telah memanggil pihak Real Estate Indonesia (REI) Kaltim, untuk mendiskusikan hal ini.
Bahkan ia pastikan 50 persen dalam pertemuan itu adalah pihak pengembang yang mengajukan peninjauan kembali (PK). “Mereka (REI) mengatakan perda RTRW ini ibarat dikasih nasi kotak, tapi enggak tahu apa rasanya,” tegas Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. Sehingga ia beranggapan bahwa hasil dari PK yang telah digarap oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Samarinda itu, belum tersampaikan kepada sebagian besar pengembang, termasuk masyarakat yang memiliki lahan.
Tak lupa ia mengaitkan tentang kasus warga di Jalan M Said Gang 6 yang terdampak pengembangan Perumahan Premiere Hills Jalan MT Haryono. Sedangkan Andi Harun mengatakan pembahasan RTRW ini sudah terlalu lama, lantaran sudah melalui dua kali pergantian wali kota dan dua kali pergantian DPRD. Salah satu alasan penetapan RTRW ini harus segera dilakukan, lantaran banyak pengembang perumahan termasuk pembangunan kota terkendala, akibat status lahan masih mengacu pada perda lama.
Seperti diketahui ajuan ini sudah diusulkan sejak 2018 lalu, masa pemerintahan Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang. Dilakukan peninjauan kembali lantaran sudah banyak peruntukan di RTRW yang tidak sesuai. Sehingga ia pun menggunakan haknya sebagai kepala daerah untuk menetapkan perda RTRW tersebut, berlandaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 tahun 2015 tentang pembentukan produk hukum daerah.
Hal ini telah ia sebutkan beberapa kali dalam sesi wawancara dengan media. “Kalau dikatakan kami belum sinkronisasi, sebenarnya sudah. Tidak mungkin dari pusat (kementerian ATR/BPN) memberikan rekomendasi kalau perda ini bertentangan dengan provinsi,” tegasnya. Ia menyebut salah satu persoalan tentang pendelegasian izin pertambangan kepada daerah. Politikus Gerindra itu memastikan itu sudah disesuaikan dengan perda RTRW Kaltim sekalipun saat ini belum disahkan.
“Kalau di raperda provinsi di pasal 104 ayat 2 huruf h, sedangkan di kita pasal 86 ayat 1. Itu sudah dikonsolidasikan semua sebagai turunan perpres nomor 55 tahun 2023,” tuturnya. Menyambung persoalan ini, Samri mengatakan dari Bapemperda tak pernah membahas persoalan ini dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dalam hal ini Dinas PUPR Kota Samarinda.
Namun Andi Harun menimpali bahwa permohonan pembahasan RTRW sudah pernah dilakukan bahkan sejak 2020 lalu. “Ke mana saja selama ini, ini saya ada buktinya saat dilakukan pembahasan perda RTRW, tembusannya juga ke Bapemperda. Jadi untuk apa kita tunda-tunda,” tegasnya. Selain itu dalam diskusi malam itu juga turut menghadirkan Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI Kaltim Bagus Susetyo.
Ia mengakui sejak ditetapkannya UU Ciptaker dan mewajibkan pemberlakuan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), kian membuat usaha perumahan seakan berjalan di tempat. Pasalnya dalam penentuan lokasinya banyak yang tidak sesuai Perda RTRW Samarinda sebelumnya. Sedangkan dalam alur pembuatan PBG harus menyesuaikan dengan RTRW yang berlaku di daerah itu sendiri.
Empat tahun kami tidak bisa jualan rumah, makanya kami ajukan revisi ke Pak Wali,” sebutnya. Jika mengacu pada Perda RTRW yang lalu, jelas dianggap membekukan langkah pengembang dari pandangan REI Kaltim. Bahkan banyak yang kawasan yang harusnya bisa menjadi kawasan perumahan menjadi hutan kota sekitar 200 hektare. “Kepastian hukum bagi kami itu wajib, kalau tidak ada kepastian yang sesuai tata ruang, pembangunan akan terhambat dan daya beli juga terhambat,” ungkapnya.
Sementara itu selaku akademisi hukum Universitas Mulawarman Warkhatun Najidah mengatakan untuk mencari mana yang benar, diakuinya memang sulit. Sehingga ia tak ingin banyak berkomentar dalam kesempatan itu. “Karena kami harus melakukan cocok formil. Memang RTRW yang dulu cukup menyengsarakan masyarakat, namun yang perlu dilihat adalah kualitas partisipasi publiknya gimana, itu yang harus dibuktikan,” pungkasnya. (hun/beb)