TAK Lama lagi kita memperingati Hari Perempuan Internasional 2023 atau International Women’s Day (IWD), tepatnya pada Rabu 8 Maret. Peringatan ini sendiri sudah dimulai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai sejak tahun 1975 silam. Menukil dari laman resmi IWD menulis, tahun ini mereka mengkampanyekan #EmbraceEquity atau #RangkulKesetaraan “Dan kita semua dapat berperan serta.
Kita semua dapat secara aktif mendukung dan merangkul kesetaraan dalam lingkup pengaruh kita masing-masing,” sebut pihak IWD di laman resminya. Dalam setiap peringatan IWD tentu memiliki tujuan mulai mulai dari menantang stereotip gender, menentang diskriminasi, menarik perhatian pada bias, dan mengupayakan inklusi.
Sementara menurut IWD, mengaplikasikan kesetaraan gender tidak terbatas pada perempuan yang berjuang sendirian. Sehingga kebersamaan sangat penting untuk kemajuan sosial, ekonomi, budaya, dan politik perempuan. Berbeda dengan PBB UN Women yang mengangkat tema “DigitALL: Innovation and technology for gender equality” atau “DigitALL: Inovasi dan teknologi untuk kesetaraan gender”.
Sementara dari komite persiapan IWD Samarinda mengangkat tema tentang IWD dan sejarah kekerasan perempuan di Indonesia, menghandirkan pemantik dari Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Mulawarman, Sri Murlianti.
Dalam diskusinya ia sempat menyinggung tentang Sejarah Internasional Women’s day yang dimulai dari pemberontakan perempuan Rusia saat Perang Dunia pertama hingga perjuangan politik di Inggris dan Amerika. Selanjutnya, ia juga menerangkan tentang beberapa gerakan-gerakan perempuan sejak jaman dahulu.
Mulai dari Masa Kolonial Belanda, Dewi Sartika, gerakana perempuan di masa R.A Kartini yang fokus pada Pendidikan, perlawanan terhadap pernikahan anak dan kerajaan. Hingga gerakan perempuan masa orde lama yang dikenal dengan sebutan Gerwani atau Gerakan Wanita Indoneia yang muncul sebeleum tahun 1965, yang kerap dikaitkan dengan permasalahan buruh, baik buruh perkebunan, pabrik, dan daerah-daerah luar kota.
“Ini adalah konferensi perempuan pertama dan perjuangan melawan poligini dan poligami, gerwani dan penghancurannya sehingga naiknya Presiden Soeharto,” ujar Sri. Namun organisasi ini seakan lenyap dengan gerakan progresif perempuan masa orde baru sehingga membuat perubahan gerakan perempuan menajdi PKK, Bhayangkari, Persit.
Menjelang peringatan IWD ini ia melihat sudah banyak gerakan perempuan yang mulai konsen terhadap perjuangan perundang-undangan. Seperti juga dijelaskan oleh Refinaya yang juga terlibat dalam komite persiapan IWD Samarinda. Perempuan yang akrab dipanggil Naya ini kerap aktif dalam organisasinya Perempuan Marhardika.
Dalam peringatan IWD tahun ini ia meminta kepada pemerintah untuk lebih serius dengan hak-hak perempuan mulai dari upah, kesetaraan, hak politik dan sebagainya. Sebab yang terjadi selama ini, hak-hak perempuan masih banyak dikesampingkan. Terbukti dengan pengesahan UU Cipta Kera, tak ada memuat tentang hak cuti haid, cuti melahiran dan sebagainya.
“Karena IWD ini berangkat dari sejarah perjuangan buruh perempuan, sehingga kami mengharapkan tahun ini pemerintah bisa lebih memperdulikan lagi khususnya dalam penerapan aturannya yang mengangkat tentang hak-hak perempuan,” sebut Naya.
Rencananya di hari puncak peringatan IWD yang jatuh pada 8 Maret nanti, akan digelar aksi terbuka, guna menyuarakan tentang hak-hak perempuan yang perlu dikampanyekan, agar masyarakat terbuka dengan kesetaraan dan sejumlah isu kekerasan yang kerap masih menghantui perempuan. “Karena tak cukup dengan undang-undang, kita butuh ruang aman,” pungkasnya. (hun/nha)