TELUK LERONG ULU. Musibah di Depo Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, yang menewaskan 17 orang, mengingatkan kita pada bangunan serupa di kawasan Cendana, Samarinda. Nyaris serupa dengan kondisi di Plumpang yang meledak kemudian membakar permukiman warga di sekitarnya, letak Depo BBM Pertamina di Jalan Cendana, Kelurahan Teluk Lerong Ulu (TLU), Kecamatan Sungai Kunjang, juga dikelilingi permukiman warga.
Lokasinya ada di tengah-tengah kawasan permukiman padat. Setidaknya ada beberapa lingkungan RT yang masuk “Ring 1” dan berbatasan langsung dengan terminal BBM tersebut. Antara depo dengan permukiman warga hanya dipisahkan tembok.
Setelah tembok setinggi kurang lebih 3 meter yang mengelilingi sisi kiri dan kanan depo, yang jalan utamanya masuk lewat Jalan Cendana, antara permukiman warga hanya dibatasi sungai maupun jalan gang. Jarak antara tembok, baik jalan gang atau sungai yang paling jauh hanya sekitar 8 meter, sudah bangunan warga.
Kemudian di sisi belakang depo atau yang diakses melalui Jalan Slamet Riyadi, langsung tersambung dengan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Corporate Owner Corporate Operate (COCO), yang diketahui dikelola langsung oleh PT Pertamina (Persero).
Tak hanya permukiman warga, persis bersebelahan dengan tembok pagar Depo Pertamina tersebut juga terdapat dua sekolah. Yaitu SDN 001 Cendana dan SMPN 40, yang berada di lingkungan Jalan Slamet Riyadi, Gang Manunggal, RT 39 TLU. Di lapangan memang ada setidaknya empat titik hidran yang digunakan sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu ada ancaman musibah kebakaran.
“Kekhawatiran kami dengan keberadaan tangki-tangki minyak yang ada di Depo Pertamina ini (di Jalan Cendana, Red) sudah lama. Kami takut kalau sewaktu-waktu ada kebakaran, api menjalar dan bisa makin berbahaya. Apalagi lingkungan kami ini padat, banyak warga. Di lingkungan saya saja ada ratusan jiwa, paling sedikit 300 jiwa. Lain lagi dengan lingkungan RT lain,” ujar Ketua RT 16 TLU, Taufik yang wilayahnya persis di samping tembok Depo Pertamina dan hanya dibatasi Sungai Manggis.
Yang lebih rawan, terang Taufik, kebanyakan wilayahnya adalah bangunan kayu dan lama. Bahkan pernah terjadi musibah kebakaran sekitar 2007 lalu. Yang membuat waswas, api merembet ke depo dan bahaya makin mengancam.
“Apalagi perhatian pihak depo dengan warga sekitar kurang. Sementara resiko ada di warga kami. Bayangkan saja kalau ada apa-apa. Memang dibuatkan hidran, cuma mampu tidak kalau ada ancaman api,” tutur Taufik.
Selain resah dan khawatir akan bahaya kebakaran, aktivitas di depo juga dikeluhkan. Getaran sangat dirasakan warga, karena aktivitas truk tangki berukuran besar yang wara-wiri melakukan bongkar muat BBM.
Ketua RT 15, Gazali Rahman yang juga ada di sekitar Depo Pertamina juga mengaku khawatir kejadian Plumpang Terulang. Apalagi di lingkungannya juga padat penduduk. Wilayahnya mencapai ratusan jiwa juga. “Jujur saja, khawatir sudah pasti. Kami takutkan kalau kebakaran. Memang kalau depo itu sejak saya lahir sudah ada. Saya lahir sekitar 1970 depo ini sudah ada. Dulu cuma kawat berduri saja,” ungkapnya.
Sementara Ketua RT 39 TLU, Amat Jais menerangkan, sebenarnya tak hanya resah, warga di lingkungannya juga pernah komplain. Bahkan sempat terjadi polemik saat lpihak Pertamina hendak membangun tangki ke-13 dan tangki ke-14 sekitar 2019 lalu. Ketika itu warga menentang pembangunan tangki, yang lokasinya berada dekat permukiman padat penduduk tersebut.
“Warga kami menentang, karena khawatir ancaman bahaya. Terutama bahaya kebakaran atau ancaman tangki meledak. Ketika itu kami bersama warga bahkan sampai mengadu ke DPRD Samarinda, bahkan sampai ke DPR RI. Sempat ada dengar pendapat juga,” jelas Jais.
Namun perjuangan dan penolakan warga di RT 39 sia-sia, sebab pihak Pertamina tak bergeming dan tetap membangun serta menambah tangki BBM tersebut. “Kalau kami sebenarnya berharap depo pindah. Atau minimal pihak Pertamina menambah safety atau bisa meminimalisir ancaman bahaya, termasuk kebakaran. Kemudian warga diberikan edukasi, jika sewaktu-waktu ada ancaman bahaya kebakaran langkah apa yang dilakukan guna meminimalisir risiko atau bahayanya,” terang Jais.
Lurah TLU, Anton Sulistiyo mengungkapkan bahwa memang ada beberapa lingkungan RT di sekitar depo tersebut. Di antaranya adalah RT 18, RT 27, RT 28, RT 37, RT 39 dan RT 40. Kemudian pantauan Sapos di lapangan, RT 15, 16, hingga RT 17 termasuk dekat dengan depo tersebut.
Bahkan posisi lingkungan RT 16 dan 17, hanya berbatasan tembok serta sungai saja. Jika tiap RT terdapat 70 Kepala Keluarga (KK), kemudian masing-masing keluarga terdiri dari ibu dan ayah serta dua orang anak, maka tiap RT rata-rata ada 250 jiwa. Maka diperkirakan warga yang bermukim di sekitar Depo BBM Pertamina mencapai ribuan orang.
“Mengenai kekhawatiran warga akan bahaya yang sewaktu-waktu muncul, sudah pasti ada. Terutama warga yang bermukim di lingkungan “Ring 1″ itu. Ya semoga saja tak ada kejadian seperti di Plumpang, Jakarta itu,” beber Anton. Ditambahkan Lurah Karang Anyar, Rusmin Nuryadin, bahwa ada tiga lingkungan RT di wilayahnya yang lokasinya berada di seberang Depo Pertamina tersebut. Mereka hanya dibatasi Jalan Poros Cendana.
“Kalau wilayah kami memang berbatasan langsung dengan Kelurahan TLU, hanya dibatasi jalan raya (Jalan Cendana, Red). Ada tiga RT di seberang Depo Pertamina itu. Yakni RT 5, RT 7, RT 8. Kalau jiwanya di tiga 3 RT itu sekitar 500 orangan. Kekhawatiran dekat depo sudah pasti ada. Pernah disampaikan warga juga,” kata Rusmin.
“Kalau getaran akibat lalu lalang truk tangki, memang sudah pernah disampaikan warga,” kata Rusmin lagi.
Terminal Integrated Bahan Bakar Minyak atau BBM milik PT Pertamina (Persero) di Plumpang, Jakarta Utara, Jumat (3/3) malam, terbakar. Akibat insiden itu, 17 orang meninggal dan sedikitnya 50 orang terluka. Belum diketahui penyebab kebakaran. Kebakaran mulai terjadi sekitar pukul 20.20. Kebakaran merembet ke permukiman padat penduduk di sekitarnya dengan radius sekitar 1 kilometer. (rin/nha)