BERBICARA tentang kesetaraan gender tak melulu tentang kemampuan perempuan untuk dapat menjalani profesi layaknya seorang pria. Nyatanya hingga saat ini masih banyak yang salah persepsi tentang isu kesetaraan ini.
Padahal ada beberapa banyak masalah yang sering terjadi berkaitan dengan keseteraan gender, mulai dari pemenuhan gaji, hak-hak perempuan yang sering diabaikan oleh pemilik perusahaan hingga kasus kekerasan yang masih ditutup-tutupi oleh beberapa pihak.
Hasil Survey yang dilakukan UNFPA (United Nation Population Fund) bersama Komisi Nasional Perempuan, menyebutkan tahun 2020 hingga 2021 ada sebanyak 91,6 persen dari 600 responden berusia 14 – 30 tahun pernah mengalami, menyaksikan secara langsung, atau mendengar setidaknya 1 jenis kekerasan seksual.
Meskipun korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan, namun kita tidak dapat menafikan fakta bahwa kekerasan seksual juga dialami laki-laki.
Sementara penyinta yang ingin pulih dan memperjuangkan nasibnya kerap kali terhambat pada akses hukum dan kesembuhan psikologis, menanggapi hal tersebut Savrinadeya Support Group hadir dan bergerak bersama lembaga terpilih untuk mewujudkan penanganan yang tepat pada kasus kekerasan seksual.
Selain konsen terhadap penanganan, grup ini juga aktif menggelar diskusi untuk menambah edukasi tentang kesetaraan gender. Seperti gelaran diskusi pada Kamis (17/3) bertajuk “Speak Up”, masing-masing pemantik memberikan pemaparan, sesuai dengan bidangnya.
Pertama Disya Halid yang berbicara tentang “kurangnya pegawai perempuan mengambil hak cuti haid”. Menurutnya hak ini perlu disebarluaskan kepada seluruh perusahaan atau pemilik usaha yang memilik pegawai perempuan.
Sebab hal ini telah tertuang dalam undang-undang nomor 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan pasal 81 ayat (1), bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
Sanksinya bila dilanggar juga ada diatur dalam pasal 186 dengan waktu paling singkat satu bulan hingga empat tahun atau dikenakan sanksi paling sedikit Rp 10 juta dan maksimal Rp 400 juta.
“Tiap perempuan mengalami menstruasi yang berbeda-beda, makanya sebelum menerima kontrak kerja harus diteliti dulu hal ini,” sebut Disya. Selanjutnya dari pemateri kedua juga tak kalah menarik, dari Yasmin atau akrab disapa Kelsy ini membahas tentang program KB picu diskriminasi gender, peserta KB masih didominasi perempuan.
Ia melihat selama ini alat kontrasepsi lebih banyak dibuat untuk perempuan, sedangkan untuk laki-laki hanya dua jenis yaitu kondom dan vasektomi. “Padahal perempuan banyak alami efek sampingdari penggunaan alat kontrasepsi,” ungkapnya. Sehingga dari diskusi ini ia berharap ke depannya semakin banyak pria yang menyadari akan perannya dalam mewujudkan keluarga yang lebih sejahtera, agar tak melulu membebankan perempuan.
Pemantik selanjutnya yaitu Neli yang juga bergerak sebagai pendiri organisasi ini, juga membawakan materi yang menarik yaitu tentang media dan ruang aman. Tema ini menarik diangkat lantaran selama ini ia melihat masih banyak media yang tak memahami tentang pelanggaran terhadap kesetaraan gender.
Diskusi ini ditutup dengan pemantik terakhir yang juga menjadi pendiri Savrinadeya Group, yaitu Esty yang mengangat tema diskusi tentang “Phallus-phalus bergentayangan, maskulinitas atau kekuasaan”. (hun/nha)