SAMARINDA. Berakhirnya batas pelaporan periodik laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) tahun 2022 per 31 Maret lalu, menempatkan DPRD Kaltim sebagai provinsi dengan tingkat penyampaian terendah. Berdasarkan keterangan dari Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, tingkat pelaporan LHKPN DPRD Kaltim ada di kisaran 74,55 persen.
Dalam daftar yang dirilis, hanya 5 dari seluruh anggota parlemen Karang Paci yang patuh melaporkan LHKPN-nya untuk periodik 2022. Nidya Listiyono, legislator asal Partai Golkar, yang namanya masuk dalam daftar tak patuh, menyebut hal ini hanya persoalan keterlambatan update data saja.
“Yang jelas saya sudah membuat LHKPN dan sudah diverifikasi lengkap,” ucapnya saat menghubungi Samarinda Pos, Senin (17/4) kemarin. Sembari menunjukkan gambar salinan laporannya, Nidya menjelaskan bahwa ia sudah membuat laporan pada Maret lalu. Kemudian di situ tertulis keterangan bahwa laporan miliknya dinyatakan terverifikasi lengkap. Ditambahkannya, dari informasi yang ia terima dari stafnya, ternyata banyak juga koleganya yang sudah memberikan laporan. Namun, dalam rilis yang dimuat, namanya tak tertera sebagai patuh lapor.
“Saya pikir ini mungkin hanya ada keterlamatan sistem update laporan LHKPN,” ujar Nidya yang juga Ketua Komisi II DPRD Kaltim tersebut. Menurut Nidya, tak ada alasan baginya untuk tidak melaporkan kewajibannya tersebut. Yang mana, kewajiban tersebut sudah menjadi komitmen awal sejak ia dinyatakan terpilih sebagai anggota dewan. Sebagai wujud komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Tentu tak ada alasan saya untuk tidak melaporkannya. Ini adalah komitmen kami sejak awal,” ucap Nidya. Diketahui, pengabaian terhadap pelaporan LHKPN masuk dalam sanksi administrasi. Untuk pejabat negara, hukumannya bisa berupa penundaan promosi, tidak boleh mengikuti pendidikan sampai pada menahan tunjangannya.
Khusus untuk legislatif, KPK terlebih dulu akan menyampaikan pada pimpinan fraksi di DPR. Namun, karena dirasa kurang ampuh, pimpinan KPK akan menyurati ketua partai pemilik kursi di DPR baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota. “Tapi sanksinya tidak boleh pidana, karena undang-undang hanya menyebut administrasi. Kalau untuk anggota dewan, mungkin dari sekwan bisa menahan uang tunjangannya,” terang Nainggolan seperti dikutip dari rilisnya. (rz/beb)