SAMARINDA KOTA. DPR RI telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan. Mayoritas fraksi menyetujui pengesahan RUU itu menjadi undang-undang. Hanya Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS yang menolak.
Sejumlah organisasi profesi kesehatan menolak UU itu. Di antaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim dr. Padilah Mante Runa mengungkapkan bahwa penolakan ini berawal dari keresahan organisasi lintas profesi, terutamanya pada pelayanan kesehatan yang profesional, salah satunya organisasi profesi tidak lagi memiliki wewenang rekomendasi Surat Tanda Register (STR) dari Organisasi Profesi (Opro).
“Surat rekomendasi diberikan lima tahun sekali. Tujuannya untuk menjaga kualitas tenaga kesehatan, baik dokter, perawat, apoteker maupun bidan. STR harus diperpanjang dengan syarat-syarat. Ada kredit poin yang harus dipenuhi,” ucapnya pada Sapos, Rabu (12/7) kemarin.
Padillah menyebut, tenaga kesehatan ini wajib mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensi. caranya dengan mengikuti seminar, simposium, dan lainnya untuk memenuhi kredit poin. “Pengetahuan selalu dan terus berubah,” ungkapnya.
Sedangkan dalam RUU Omnibus Law ini, STR berlaku seumur hidup. Katanya, ini berbahaya dalam profesi kedokteran, bahkan profesi kesehatan yang lain. “Karena itu kami menolak,” ungkapnya. Dia menyebut Organisasi Profesi Kesehatan di Kaltim adalah salah satu pemangku kebijakan (Stakeholder) di tingkat daerah.
Tidak pernah diberikan informasi atau dilibatkan dalam diskusi pembahasan naskah akademik RUU Kesehatan Omnibus Law ini, demikian pula pemerintah daerah dan dinas kesehatan di Benua Etam. Semestinya, Eksistensi UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 38 tahun 2014 Tentang Keperawatan, dan UU No. 4 tahun 2019 Tentang Kebidanan telah berjalan dengan baik dan tertib.
Dalam Penghapusan Undang-undang Profesi Kesehatan tidak hanya berpotensi melemahkan peran organisasi profesi, namun akan menimbulkan dampak dan kerugian yang lebih besar terhadap kepentingan masyarakat. Karena sejatinya Undang-undang Profesi Kesehatan dan Kedokteran bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Hal senada disampaikan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) bersama empat organisasi profesi menempuh langkah hukum berupa pengajuan judicial review atas Undang-undang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami dari IDI bersama dengan empat organisasi profesi akan menyiapkan upaya hukum sebagai bagian tugas kami sebagai masyarakat yang taat hukum untuk mengajukan judicial review,” kata Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi dalam keterangannya di Jakarta.
Atas dasar itu, IDI bersama Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), sedang mempersiapkan judicial review atas UU Kesehatan. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Paripurna RUU Kesehatan di Jakarta, Selasa (11/7), mengatakan pemerintah telah melaksanakan setidaknya 115 kali kegiatan dalam rangka partisipasi publik dalam RUU Kesehatan.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menggelar 1.200 agenda diskusi yang melibatkan 27.000 peserta dari para pemangku kepentingan hingga dihasilkan 6.011 masukan terkait RUU Kesehatan. Terkait alasan penghapusan mandatory spending alias kewajiban belanja dalam UU Kesehatan, kata Menkes, didasari atas hasil evaluasi bahwa anggaran kesehatan tak diserap tepat sasaran, dan ada kecenderungan tidak transparan.
“Besarnya belanja atau spending dalam kesehatan tidak menentukan kualitas dari outcome yang dihasilkan yakni derajat kesehatan masyarakat Indonesia,” bebernya. Sebagai pengganti mandatory spending, pemerintah mengatur belanja kesehatan bukan berdasarkan pada besarnya alokasi dana, tapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. (mrf/nha)