SAMARINDA KOTA. Untuk membentuk karakter anak agar berprilaku baik di sekolah, bukan perkara mudah saat ini. Pasalnya sudah banyak kasus kekerasan hingga pembullyan rentan terjadi, akibat pengaruh dari luar yang masuk melalui media sosial (medsos).
Sehingga peranan guru bimbingan konseling (BK) sangat diperlukan, untuk memberikan pengarahan kepada anak-anak didik di sekolah. Hanya saja selama ini kehadiran guru BK, masih dipandang sebelah mata. Hal ini terlihat dari jumlah guru BK yang ada di setiap sekolah masih minim. Totalnya di Samarinda berada di kisaran 80 orang.
Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 tahun 2009 tentang pemenuhan beban kerja guru dan pengawas satuan pendidikan, pasal 1 poin 6 menjelaskan, beban mengajar guru bimbingan dan konseling/konselor adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan.
Sementara itu, untuk wilayah kerja Guru BK sendiri sejatinya diatur khusus dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 111 tahun 2014. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) Kota Samarinda Agus Muhammad Iqro.
“Karena ini seperti profesi dan terstruktur dari pusat, namun di sekolah kami (guru BK) masih sering dikira guru yang galak, kalau tidak ada masalah tidak kerja. Padahal tidak begitu kerjanya,” ungkap Iqro. Kehadiran guru BK seharusnya bisa menjadi pengendali sebelum kasus-kasus terjadi di sekolah.
Sehingga jumlah guru BK di setiap sekolah perlu ditambah, tanpa harus membebani guru lain untuk merangkap jabatan sembari mengampu mata pelajaran. Iqro yang baru saja dilantik untuk mengaktifkan kembali ABKIN ini menyadari, jumlah guru BK di setiap sekolah masih kurang ideal.
Padahal tantangan perkembangan generasi selanjutnya akan lebih tinggi. Sudah seharusnya kehadiran guru BK di sekolah tak lagi dipandang sebelah mata.
“Makanya di pengurusan ABKIN saat ini, kami berupaya untuk lebih pro aktif lagi menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, untuk kemajuan pembangunan manusia,” terangnya.
Belum lama ini, ia bersama anggota ABKIN lainnya sudah berupaya menjalin komunikasi dengan Komisi IV DPRD Samarinda. Dalam hal ini membahas tentang fasilitas saat bimbingan konseling berlangsung, yang selama ini tidak memenuhi standar.
“Ruangan itu harusnya terpisah, tidak boleh bergabung dengan ruangan guru, atau UKS. Apalagi untuk anak-anak yang mengalami permasalahan seperti kekerasan, pembullyian, kalau banyak yang ikut campur, anaknya jadi tidak leluasa untuk bercerita,” tuturnya.
Wakil ABKIN Kota Samarinda Jatipramono menambahkan bahwa setiap guru BK memiliki kode etik tersendiri. Sehingga waktu kerjanya memang tidak sama dengan guru yang mengajar di sekolah.
“Tantanggan guru BK ke depannya, tidak hanya bertugas untuk merazia, tapi harus bisa melakukan pencegahan sebelum ada permasalahan di sekolah,” pungkasnya. (hun/nha)