SEMPAJA SELATAN. Di tengah gemerlapnya Kota Samarinda, masih ada kisah pilu di pinggir kota. Hal ini dialami seorang anak laki-laki berusia 13 tahun. Bagaimana tidak, di usia yang masih sangat belia, Bima (bukan nama sebenarnya) yang kurang mendapat perhatian dan kehangatan dari orangtua, memilih tinggal sebatang kara.
Dia tinggal sendiri, bukan karena Bima tidak memiliki kedua orangtua. Semenjak ibu dan ayahnya berpisah, saat ia baru dilahirkan, Bima memilih tinggal sendiri di sebuah tenda yang biasa untuk berkemah. Tenda itu ia dapat dengan cara meminjam dari teman sekolahnya. Bima saat ini masih duduk di bangku kelas IV di salah satu SD di sekitar rumahnya.
Bima membangun tenda kecil berukuran 2×2 meter di sebuah lahan kosong milik warga di Sempaja Selatan, Samarinda Utara. Beberapa pakaian termasuk seragam sekolah ia bawa di tenda itu. Sebagai penerang di kala malam, Bima kadang menyalakan api unggun atau lilin. Untuk Mandi Cuci Kakus (MCK) Bima biasa menumpang di rumah warga.
Sementara untuk urusan perut, Bima hanya bisa berharap dari bantuan warga. Bocah malang ini sudah tinggal di tenda tersebut selama 2 bulan. Awalnya, Bima tetap aktif bersekolah. Namun sudah empat minggu Bima bolos. Warga sekitar sebenarnya tidak tinggal diam dengan kondisi Bima. Sebelum tinggal di tenda tersebut, Bima sempat tinggal di beberapa rumah warga. Sayang, Bima selalu tidak betah.
“Pernah tinggal di rumah saya. Tapi beberapa minggu keluar dan tidak balik-balik lagi. Kemudian saya dengar ditampung di rumah warga lain. Tapi ya begitu, keluar dan tidak balik-balik. Kayak tidak betah,” ungkap Munaji (48) warga sekitar. “Terakhir, tinggal di tenda itu. Saya juga kaget. Padahal kami semua peduli sama bocah tersebut,” imbuhnya.
Selain berniat baik menampung Bima, warga pernah berupaya mempertemukan Bima dan orangtuanya. Entah karena trauma, Bima tetap tidak ingin tinggal bersama orangtuanya.
“Ya, kami mau memaksa bagaimana. Akhirnya bocah ini tinggal di tenda itu lagi. Kurang lebih dua bulan ini,” terang Munaji. Menyikapi kondisi tersebut, Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim, Rina Zainun juga menyoroti kenyataan tragis ini. Menurut Rina, Bima korban dari perceraian orangtuanya semenjak dia kecil, bahkan dari lahir.
“Ada konflik antara orangtua, hingga sering di-pingpong ke sana kemari oleh pihak keluarga, sehingga tidak diperhatikan secara tumbuh kembang. Tidak mendapat kasih sayang,” kata Rina, Minggu (12/11). Rina mengungkapkan bahwa banyak pihak, termasuk pihak sekolah, guru Bima, warga setempat, dan guru di majelisnya, telah berupaya untuk membantu Bima.
Namun, Bima tampaknya enggan merepotkan orang lain. Dia lebih memilih untuk hidup dalam kondisi yang sulit ini. Jadi, warga, pihak sekolah yang setiap hari membantu memberikan anak itu makanan. Sebaliknya, Bima mengungkapkan keinginannya untuk tinggal di pondok pesantren (ponpes) dan memiliki impian menjadi pemain bola.
“Keputusan ini mungkin menjadi langkah positif untuk memulai proses penyembuhan dan mencapai mimpi yang diinginkannya. Itu memang keinginannya sendiri, bukan keinginan pihak lain,” terang Rina. Rencananya, hari ini (13/11) Bima akan diantar ke sebuah pondok pesantren (ponpes) di Lempake.
Semoga langkah ini membawa perubahan positif dalam kehidupan Bima dan mengilhami upaya lebih lanjut untuk memberikan perlindungan dan perhatian kepada anak yang membutuhkan seperti Bima. “Alhamdulillah banyak yang membantu. Termasuk perlengkapan untuk mondok di pesantren. Semoga kejadian ini tidak berulang ke anak lainnya,” harap Rina. (kis/nha)